Disukai

TIM BB-GTS SMAHDA TARGETKAN SATU HARI MINIMAL KIRIM SATU BERITA

Upaya Tim BB GTS SMA Islam Wasilatul Huda Dukohkidul serius menggeluti jurnalistik sekolah dengan setiap hari mengirim paling tidak satu ...

Sunday, October 16, 2011

Menganalisis Fenomena “Orang-Orang Kalah” Dengan Perspektif Sosiokultural

AULINA FAIZA *)


Membaca koran Kompas edisi Minggu, 21 Februari 2010 tulisan Budi Suwarna dan Yulia Septiani rasanya membuat hati miris, pasalnya dari judulnya saja “orang-orang kalah dari Jatinagor” serta sekilas dari keterangan gambar sudah dapat ditarik beberapa informasi bahwa “telah terjadi suatu perubahan” di Jatinangor sehingga lahir istilah “orang-orang kalah”.

Jatinangor adalah sebuah kawasan di sebelah timur Kota Bandung, merupakan satu dari 26 Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh namun sejak tahun 2000 berganti nama menjadi Kecamatan Jatinangor dengan alasan nama tersebut terasa lebih familiar dan lebih popular dikenal khalayak ramai. Jatinangor sendiri adalah nama blok perkebunan di kaki Gunung Manglayang yang kemudian dijadikan kompleks kampus sejumlah perguruan tinggi, termasuk Universitas Padjadjaran . Dari Topografische Kaart Blaad L.XXV tahun 1908 dan Blaad H.XXV tahun 1909 yang diterbitkan oleh Topografische Dienst van Nederlands Oost Indie , telah dijumpai nama Jatinangor di tempat yang sekarang juga bernama Jatinangor. Ketika itu, daerah Jatinangor termasuk ke dalam Afdeeling Soemedang, District Tandjoengsari.

Saat ini Jatinangor dikenal sebagai salah satu kawasan Pendidikan di Jawa Barat. Pencitraan ini merupakan dampak langsung pembangunan kampus beberapa institusi perguruan tinggi di kecamatan ini. Perguruan tinggi yang saat ini memiliki kampus di Jatinangor yaitu :
1. Universitas Padjadjaran (Unpad) di Desa Hegarmanah dan Desa Cikeruh.
2. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Desa Cibeusi. Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
3. Institus Koperasi Indonesia (Ikopin) di Desa Cibeusi.
4. Universitas Winaya Mukti (Unwim) di Desa Sayang.
5. Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) Al-Ma'soem di Desa Cipacing


Sedangkan perusaah/industri skala besar, yaitu :
1. Kahatex Industri (terletak di Desa Cintamulya dan Cisempur)
2. Polypin Canggih (terletak di Desa Cipacing)
3. Insan Sandang (terletak di Desa Mekargalih)
4. Wiska (terletak di Desa Cipacing)
Seiring dengan hadirnya bangunan kampus dan pabrik tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Sebagaimana halnya yang menimpa lahan pertanian lain di Pulau Jawa, banyak lahan pertanian di Jatinangor yang berubah fungsi menjadi rumah sewa untuk mahasiswa ataupun tempat perbelanjaan. Salah satu yang terkenal saat ini yaitu pusat perbelanjaan Jatinangor Town Square (JATOS) dan Plaza Pajajaran.

Dalam kasus tersebut sangat terlihat dimana faktor sosiokultural memainkan peranan yang sangat berarti. Mengabaikan faktor tersebut dalam berbagai tingkat pembangunan (penentuan tujuan, pilihan strategi, dan pelaksanaan proyek pembangunan) dapat menyebabkan berbagai dampak yang merugikan, seperti tercermin dalam kasus di Jatinangor sebagai bentuk hasil pembangunan yang tidak sesuai yang diharapkan serta menimbulkan berbagai dampai yang tidak menyenangkan bagi masyarakat asal sehingga menjadi “orang-orang yang kalah”.

Faktor sosiokultural dalam pembangunan terdiri dari dua unsur, yakni faktor sosial dan faktor kultural. meskipun dalam kehidupan nyata kedua unsur tersebut sangat erat kaitannya namun ada beberapa ahli antropologi yang mendefinisikan sebagai berikut: Menurut gambaran Geertz kultur adalah jaringan makna, yang digunakan oleh manusia untuk menafsirkan pengalaman dan untuk menuntun tindakan mereka, sementara itu struktur sosial adalah wujud dari tindakan manusia tersebut, yaitu jaringan hubungan sosial. Kultur dan struktur sosial adalah abstraksi yang berbeda dari fenomena yang sama.

Konsep pokok yang termasuk ke dalam faktor sosial adalah struktur sosial, pola hubungan sosial antar-individu, antarkelompok, antarkelas, antargolongan, antarsektor kehidupan. Dalam kasus Jatinangor pola hubungan yang begitu terlihat dalam hubungan struktural yang terpola antara Pemerintah setempat sebagai sebuah lembaga yang superior secara politik-adsministratif dan dalam berbagai kasus seperti mendirikan universitas serta mengizinkan berdirinya beberapa pabrik dikawasan tersebut, dari situ dapat dilihat betapa dominannya pengaruh kebijakan Pemerintah, yang secara kebetulan merupakan implementasi dari dominasi politik adsministratif ini tidak diikuti dengan pengetahuan bijak mengenai teori pengembangan kota, sehingga hal tersebut bukannya memajukan justru semakin “memarjinalkan” sangat terlihat terhadap kelompok masyarakat miskin serta umumnya kedudukan golongan masyarakat yang berada dalam wilayah tersebut, yang hal tersebut merupakan praktek dari lembaga‐lembaga dan kelompok‐kelompok masyarakat yang berpengaruh dalam menentukan pendekatan, proyek, dan arah pembangunan.

Selain itu, struktur sosial antar penduduk setempat yang dulunya mayoritas petani dan akhirnya terpaksa mengalah dengan keadaan yang timbul akibat kebijakan pemerintah serta ketersinggungan mereka dengan hadirnya para mahasiswa dengan gaya hidup mereka yang berbeda dengan masyarakat setempat.
Dalam kasus ini, faktor kultural terletak pada sikap mental masyarakat/penduduk Jatinangor, yang mudah tergiur oleh kesempatan-kesempatan ekonomi sekilas. Begitu aset mereka meningkat harganya karena pengaruh pembangunan sarana pendidikan serta pusat perbelanjaan. Akibatnya banyak penduduk asli Jatinangor yang menjual tanahnya, dan uangnya digunakan untuk memenuhi berbagai macam keperluan dan membeli barang-barang konsumtif lainnya dan lama-kelamaan habis, sedangkan hanya sedikit dari mereka yang menginvestasikan uang hasil penjualan tanah mereka untuk sektor produktif. Akhirnya mereka tidak lagi memiliki sumber penghasilan, dan untuk bekerja di pabrik atau sektor lainnya mereka tidak mampu, karena dari segi pendidikan mereka kebanyakan hanya lulusan SD saja.

Demikian, harusnya pihak pemerintah mempertimbangkan masak-masak dalam merencanakan dan melaksanakan suatu program, yang awalnya terlihat manis untuk sebagian orang tertentu saja tanpa memperdulikan nasib serta kepentingan komponen masyarakat yang lain, sehingga nantinya akan melahirkan “kebijakan yang tidak bijak lagi”. (*)

*) Guru Sejarah SMAI Ma'arif NU Wasilatul Huda